Martabak Gratis dan Fenomena Resign

Kemaren sore pulang kayak biasa, jam 6, on-time. Tapi tadi ada acara makan martabak dulu sama temen satu divisi. Nggak ada yang ultah atau achieve apa-apa, beli aja karna kemaren dikasih uang sama Bapak (manager divisi aku). Kenapa dikasih uang?

Cerita dulu ya. Jadi kemaren aku melakukan kewajiban ganti utang puasa sama anak bedeng (temen satu tim yang recehnya keterlaluan—aku, mbafit, sesa). Amit-amit deh kalo udah bahas sesuatu dan bahasannya jadi receh dan melebar kemana-mana. Kita memutuskan untuk puasa di minggu ini karna bentar lagi bulan puasa sekalian mau ngirit karna belum gajian. Padahal ga ngirit juga, jajan pas buka tetep menggebu-gebu... kuingin menangis. Duh intronya panjang bener.

Singkat cerita kan kita lagi puasa jadi pas siang tetep di meja, nggak makan siang. Bapak juga makan siangnya tumben cepet, jadi ngeliat kita bertiga kok tetep depan komputer nggak makan siang. Dia nanya dengan logat Jepangnya, "Kenapa tidak keluar?"
Kita jawab serempak, "Tidaaaaccch!"
"Uang gaji masih ada?" Katanya.
Aku jawab sekenanya, "Sudah tidak ada uang lagi ya, jadi tidak makan." 
Kemudian dia percaya, merasa kasihan, dan menawarkan celengan kalengnya yang isinya recehan. "Benar ini boleh dipakai."

Serempak kita bilang bercanda doang kok lalu kita jelasin kita lagi puasa. Dia berasumsi kita lagi pemanasan mau bulan puasa Mei nanti. Sip.

Nah sorenya kita bertiga emang mau buka bareng di deket kantor, terus dia ngasih amplop cokelat isinya uang. Katanya buat makan. Kemudian kita bertiga terbengong-bengong merasa bersalah bercandain dia tadi siang.

Aku akuin kalo dia adalah atasan paling pengertian dan nggak bossy. Terbaik buat jadi atasan.

Akhirnya uang yang kemaren dia kasih, kita bertiga beliin martabak buat anak satu divisi rame-rame. Karna tidak adil rasanya cuma kita bertiga yang dikasih uang buat makan. Padahal yang belum gajian ramean.

Aku sangat sangat sangat bersyukur dikasih atasan kayak Bapak. Meski di beberapa hal dia suka bikin pusing. Tipikal orang Jepang, detail, maunya sempurna, nggak bisa break the rule, dan disiplin. Timeline, deadline, data nggak boleh lupa. Profesionalisme kerja nomor satu. Kerja ya kerja. Have fun ya have fun. Paling pentingnya nggak pernah ngerasa angkuh.

Tapi dengan atasan sepengertian dia pun, someone that already have own decision, will follow their own way.

Fenomena resign lagi jadi trend banget di kantor. Ya lagi masanya. Dapet bonus, merasa tak cukup, kemudian pergi. Rata-rata begitu. Meski ada juga alasan lainnya. Mulai dari temen satu divisi yang bikin aku dapet limpahan jobdesk, sampe anak divisi lain yang aku kenal atau cuma tau muka nggak tau nama. Dan, aku baru menyadari sesuatu.

Aku baru pertama kalinya kerja secara formal, di perusahaan yang punya prosedur secara profesional. Selama satu setengah tahun ini aku merasa terlalu aman, ada di lingkaran yang nggak bikin aku takut akan banyak hal. Rasanya sedikit hampa.

Bukan karna jobdesk aku nggak ada tantangannya. Soal tantangan? Wah bukan maen. Hal yang sama sekali nggak pernah aku pelajarin bahkan harus aku cari jawabannya tanpa tau mesti nanya ke siapa.

Bukan juga soal lingkungan yang menyebalkan. Divisi aku adalah divisi paling cocok sama diri aku. Muda, berkarya, anti-drama. Nggak ada main belakang, yang punya ide ya maju, belum diterima idenya ya mendukung. Aku sih masih merasa ada di divisi yang sehat.

Kerjaan dan lingkungan yang cocok bikin diri aku aman. Dan terlalu nyaman.

Jadi ketika banyak denger berita resign, rasanya cukup jadi tekanan juga. Pertanyaan-pertanyaan kayak: Apakah aku harus lebih menantang diri di tempat baru? Apakah aku udah dapetin hak yang layak di sini? Apakah seharusnya aku bisa lebih dari ini?

Tekanan ini lama-lama jadi sugesti. Tempatku bukan di sini.

Tapi, itu adalah sugesti nggak jelas tanpa dasar yang kuat. Bisa dibilang tanpa alesan karna cuma ikut-ikutan. Ditambah lagi yang aku liat orang-orang sekitar, orang terdekat, temen kampus, juga temen kuliah dengan achievement versi mereka. Aku ngeliat sisi baiknya mereka tanpa mikir apa yang sebenernya mereka alamin.

Banyaaak banget hal yang harusnya nggak aku liat sisi bagusnya aja. Nggak ada yang tau orang tersebut udah jatoh bangun berapa kali. Jadi, don't judge yourself untuk jadi orang yang paling rendah. Minder itu adalah rendah diri yang kalo di buku PPKn dulu adalah sikap yang tidak baik.

Untuk sekarang ini, aku akan berusaha lebih nerima. Belum tentu sih bisa atau nggak, at least aku mencoba.

Baybay!