Udah lama
rasanya sejak What If hadir siang itu. Buku kelima Kak Morra ini udah
ditunggu-tunggu setelah bocorannya yang muncul 2015 silam, sesaat setelah
nerima dengan senang hati ending What If yang realistis—sama kayak ending
novel-novel sebelumnya.
Kali ini, The
Second Best muncul dengan covernya yang manis, berharap endingnya bakal manis
sih. He he he. Penampilannya didominasi warna pink dengan gambar kaset pita
dibungkus pake catalog Oriflame, lucu juga sih kata temenku. Setelah pertemuan
nggak terduga di lobi gedung kantor beberapa bulan lalu dan obrolan singkat
soal seluruh novel-novel Kak Morra juga bocoran tentang The Second Best ini
(cerita ini mungkin bakal aku posting nanti—ya nanti lah pokoknya), akhirnya PO
dibuka kayak biasa di akhir bulan Juli. Dan The Second Best tiba dengan selamat
hari rabu kemarin.
Aku baru
sempet baca hari ini. Dan sedikit harus beradaptasi karena udah terlalu lama
nggak baca novel romance, terakhir Cantik Itu Luka dan sebelumnya lupa… atau
nggak pernah?
The Second
Best nawarin segala hal tentang musik, aku nggak begitu mendalami musik secara
spesifik, I just listen to everything, random, dan ya seringnya nyanyi dengan
lirik yang salah-salah tapi tetep nikmatin kayak penyanyi di atas panggung.
Tapi musik-musik Britpop gitu emang—entah ya—ada emosi spesial. Dan band-band
yang lagunya jarang diputer di radio-radio malah lebih punya daya tariknya
sendiri.
Novel kelima
ini kental banget sama musik-musiknya Coldplay, Radiohead, The Flaming Lips,
Oasis, sampe The Beatles. Kak Morra ini anaknya hipster abis sih, haha!
Kebetulan pacarku sukanya band-band yang model begini, jadi masih familiar sama
lirik-liriknya. Nuangin kehidupan anak band kayak gini terlihat menarik, diikutin
karakter-karakter yang selalu hidup, selalu terlihat ada di kehidupan nyata.
Orang-orang kayak Aidan, Edgar, Gwen, Rianna, dan lain-lainnya ini sangat
gampang ditemui di kampus-kampus, kehidupan seputaran tempat kayak Camden Cikini
dan bar-bar lainnya di Jakarta emang dunia mereka, juga kasus-kasus
keterlibatan narkotika itu.
Tapi, ini
jadi kemasan yang bagus untuk nunjukin masih banyak orang-orang yang emang cuma
mau main musik karna diri sendiri, bukan untuk popularitas atau pengakuan
followernya. Di sini, sosok Aidan awalnya kerasa nggak banget karna apa ya… sok
iye deh, nggak suka tapi tetep nunjukin perhatian, misterius banget lagi, kan
yang gini-gini nih bikin cewek-cewek ngerasa dikasih harapan tinggi. But, di
bab-bab akhir Aidan ternyata emang sosok sentral, sosok yang udah jarang banget
ditemuin di dunia ini—sosok setia kawan. Jadi cinta deh sama Aidan! Karakter
masing-masingnya kuat, cuma Aidan aja yang awal-awal kurang keliatan—apa ini
menurut aku aja kali ya—kayak… nggak ada Aidan juga nggak apa-apa gitu. Eh
ternyata… kuncinya di Aidan.
Alur yang
dibuat sederhana dengan setting tahun ajaran di kampus. Penggambaran setting
tempatnya pun lagi-lagi selalu khas gaya Kak Morra, yang terasa nyata dan bikin
aku sibuk nebak lokasi aslinya di mana. Btw, familiar banget sih ini, dari
mulai parkiran tempat Gwen ngerobohin motor-motor yang parkir sampe halte
TransJakarta. Dan kecurigaan salah satu bar-bar yang disebut di novel ini
adalah Camden Cikini, fix, juga Beer Garden Kemang. Ya nggak sih.
Kisah
persahabatan Aidan dan Edgar yang solid banget pun bikin betah bacanya,
persahabatan dua cowok (ganteng) yang nggak palsu dan penuh drama.
Obrolan-obrolan yang emang kalo diucapin langsung kedengerannya pasti lucu.
Juga rahasia-rahasia yang cuma teritori mereka yang tau.
Dari awal
udah jatuh hati sama sosok Edgar, tipikal Piter, rada-rada nyeleneh anaknya
tapi baik. Sayangnya, tekanan yang diterima Edgar dari masa lalunya emang bikin
dia jadi orang yang beda, jadi sahabat yang hampir nggak dikenalin Aidan, dan
jadi pacar brengsek. Sayang banget… kenapa justru disaat mimpi gemilang yang
harusnya bisa diraih Edgar seketika ilang karna pengaruh lingkungan dan nggak
ada dukungan. Kasian Edgar.
Dan, sosok Gwen yang terlalu emotionless ini rasanya berbanding terbalik sama kebanyakan karakter mahasiswi zaman sekarang, tapi itu sih yang bikin unik, nggak mainstream. Konsistensi hatinya untuk jatuh ke satu orang aja cukup nunjukin kalo dia nggak gampang terpengaruh bahkan sama cowok seganteng Edgar. Cuma Aidan seorang aja, bahkan sama Edgar pun rasa sayangnya timbul di akhir-akhir hanya karna kasihan.
Karakter Nilam juga punya karakter kuat di sini, sosok sahabat yang berani maju di garis terdepan untuk Gwen ada di dia. Maya yang asli ganggu banget. Jonas yang bikin penasaran, serius deh. Juga seluruh karakter lainnya yang menarik untuk dikulik satu-satu.
Psst, ending The Second Best ini akhirnya lumayan manis juga, nggak bikin hati mencelos walaupun dibayang-bayangi ketakutan kalo Gwen bakal kehilangan masa depannya juga. Ternyata semua emang bakal indah di waktu yang tepat.
Bukunya mulai beredar di toko-toko bulan September, tapi udah bisa pesen juga sih, intip langsung aja di akun Twitter @Miss_Morra!
“Living is
easy with eyes closed, misunderstanding all you see.” (The Beatles)
Ditunggu kisah laki-laki ganteng lainnya ya, Kak!
Comments
Vinyl Lantai Rumah Sakit