Habis baca
Notasi. Novel baru kak Morra Quatro kali ini berupa cerita
sejarah (khususnya era reformasi) yang dikemas dalam bentuk tulisan manis, apik, dan tetap mengalir—sama kayak
tulisan kak Morra biasanya. Terlepas dari bayang-bayang William Hakim (sebut
saja Will—tokoh di novel Forgiven. Btw, dia ganteng) aku terlalu jatuh
cinta sama tulisan kak Morra. Jadi aku selalu suka apa pun yang kak Morra tulis.
Sampai novel ketiganya ini, Notasi.
Curhat dulu
bentar sebelum review. Novel pertama—Forgiven,
aku telat setahun. Nggak beda jauh, novel kedua—Believe, juga telat setahun. Dan
waktu tau bakal ada novel ketiga dari kak Morra Quatro, aku langsung niat PO. Biar
nggak telat lagi. Sampe akhirnya tanggal 26 April 2013. PO dibuka. Edisi tanda
tangan. Itu masih diperjalanan—macet. Tapi langsung aku kirim email pemesanannya.
Dan selesai.
20 Mei
2013, aku nerima Notasi. Rasanya… seneng, banget. Pas dibuka ada tanda tangan
kak Morra dan satu quote dari Notasi.
Yang kak Morra tulis di halaman depannya,
Rika, saat-saat istimewa dalam
hidup selalu datang tanpa peringatan. Happy Reading.
Aku
seneng. Senengnya pake banget. Makasih atas tanda tangan dan quotenya ya, kak Morra :)
Mulai review.
Yay!
Notasi,
novel yang latar waktunya di era reformasi. Masa di mana Indonesia dikepung
banyak masalah. Masa ketika demonstrasi terjadi di mana-mana. Aku belum terlalu
peduli sebelumnya tentang cerita-cerita demonstrasi di tahun 1998 itu—waktu umur
aku masih 4 tahun dan beneran nggak inget apa pun tentang kerusuhan besar yang ada
di Indonesia waktu itu. Tapi setelah baca Notasi, aku jadi tau apa-apa aja yang
waktu itu terjadi di Indonesia.
Semua cerita
sejarah (terutama era reformasi) dijabarin di novel ini. Peristiwa-peristiwa
waktu itu di gambarin sebegitu detail.
Aku suka bacanya. Menarik. Cerita sejarah yang penuh misteri. Penembakan,
penculikan, dan lain-lain. Awalnya aku terlalu ngantuk kalo bahas
sejarah-sejarah begitu, tapi sepanjang baca Notasi, aku malah tertarik buat
nyari tahu lebih jauh lewat bantuan google
atau nanti nanya temen yang emang hobi banget bahas masalah orde baru begitu.
Dimulai dari
kehidupan kampus—lebih tepatnya organisasi kampus, semacam BEM dan
teman-temannya. Perang antar fakultas yang jadi konflik pertama di novel ini. Ruang
sekre. Acara di kampus. Kegiatan anak BEM. Dan aku suka (soalnya aku lagi
masa-masanya ikut-ikut begituan, hahaha). Fakta kalo anak teknik itu emang
keliatan kayak preman, jarang mandi, dan keras. Kampus UGM yang jadi latar
tempatnya tergambar kental banget, kak Morra ini mungkin udah terlalu khatam sama denah salah satu kampus
negeri di Yogya itu. Jadi mudah juga buat pembaca bayangin lokasinya. Plus ada ilustrasinya, tampilan baru. Yeah!
Kisah berlanjut.
Kisah cinta antara Nino dan Nalia. Mahasiswa Teknik Elektro dan mahasiswi
Kedokteran Gigi. Sederhana, natural,
dan mengalir. Mulai dari bayangan kuda yang dilihat Nino dan Nalia di Sekip. Nino
yang tiba-tiba cerita segala hal sama Nalia di warung Tiada Tara. Juga pertemuan-pertemuan
mereka setelahnya. Nalia manjat. Ada Eross. Lapangan basket. Pos satpam. Radio.
Dan masih banyak lagi. Emang langsung bisa ditebak kalo nantinya mereka berdua
harus ngejalanin hubungan yang nggak mulus. Emang, ketebak. Tapi, ya, entah
kenapa kak Morra ini selalu punya cara untuk bikin pembacanya meluluh—emm maksudnya
kebawa suasana. Walaupun jalan ceritanya bisa ditebak, tetep, jatohnya nggak
garing, nggak bosenin, malah menarik. Itu hebatnya kak Morra—menurut aku.
Tulisannya selalu ngalir (mungkin kerannya bocor), ya kak? :p
Dan konflik-konflik
percintaan waktu Nalia liat Veronika nggak suka dia deket sama Nino. Di tengah
keributan demo sana-sini, tetep ada sentuhan manisnya, jadi nggak terlalu
terpaku sama sejarahnya—yang kalo kita baca di buku sejarah waktu SMP atau SMA
rasanya bikin ngantuk.
Sampai
akhirnya Nalia dan Nino nggak bisa ketemu lagi. Akibat kerusuhan Mei ’98. Waktu
Nalia nerima dan baca surat-surat dari Nino itu rasanya sedih. Hampa—karna ada banyak
cerita yang mau dibagi, tapi terhalang jarak. Janji-janji yang dibilang Nino. Dan
kesabaran Nalia buat nunggu Nino.
Endingnya.
Aku gusar, sih. Tapi puas. Ikut ngerasain sesal yang Nalia rasain. Emang bener,
Masa
lalu sempat terlihat indah, namun kami tahu kami tidak lagi hidup di sana.
—Notasi, Morra Quatro. Pada akhirnya Nalia dan Nino nggak bersatu. Cuma karena
saat itu mereka udah saling terikat, tapi sama orang lain, orang yang berbeda.
Nalia sama Faris. Dan Nino sama Veronika. Ending kayak gini terlalu menyiksa
dibanding ending yang berujung kematian, itu kalo menurut aku. Habisnya sedih,
sih.
Terakhir,
aku selalu suka nama-nama yang ada di novel kak Morra. Selalu unik, nggak
pasaran, dan nggak ‘maksa’. Notasi; ada Nalia, Nino, Faris, Farel, Tengku, Gomez,
Zee, Veronika, Lin Lin, Aryo, dan lain-lain.
Nah,
selesai.
Kak
Morra, ini bagus. Bagus banget. Setara sama Forgiven—yang entah sampe detik ini
masih nempatin urutan pertama sebagai novel terbaik (versi aku). Bahasan tentang
Will dan Nino di twitter. Lagi, bikin aku terjebak dalam bayang-bayang tokoh
fiktif—yang aku sendiri nggak mau bayangin wujudnya, terlalu takut kalo kenyataannya
nggak sesempurna dalam novel. Cukuplah Will dan Nino hidup di novel. Tanpa harus
muncul di dunia nyata.
Ngomong-ngomong,
aku kangen William Hakim. Aaaak! Kehilangan Forgiven itu bikin aku nggak bisa
ngelepas kangen. Pengen beli lagi, tapi belum tepat waktunya. Udah, deh. Kepanjangan.
Silahkan cari di Gramedia atau toko buku lainnya dan beli Notasi. Sampulnya warna
hijau. Ada kuda sama radionya. Temen-temen aku bilang sampulnya lucu. Sampul novel-novelnya
kak Morra emang selalu canggih. Simpel—tapi ngegigit.
Ini sinopsisnya,
Rasanya, sudah lama sekali sejak
aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu....
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu....
Selamat
membeli dan membaca!
Comments